❝ are you belladorra? ❞
Home Change Wujudkan Petarung follow


December


Semua terjadi begitu cepat. Menghilang perlahan-lahan dan menimbulkan pengharapan. Waktu tak lagi dihitung dalam hari ataupun minggu, namun ditapaki dalam satuan bulan dan tahun. Sama seperti penantian yang gadis ini jalani. Penantian panjang yang memiliki akhir bias. Menampilkan fatamorgana membingungkan. Meninggalkan gadis itu untuk sekali lagi berharap, sekali lagi memohon dan sekali lagi menangis…




I just want to let you know that I miss you—until the point I hate myself. Promise me that you will take care yourself, and go home, soon.


Yours,

Celia



Ia membaca tulisannya untuk terakhir kali sebelum melipatnya menjadi sebuah lipatan kecil. Dipeluknya lipatan kertas itu sesaat sebelum akhirnya mengikatkan kertas di kaki Fidele yang mengangguk-ngangguk mengantuk. Jemarinya mengelus-ngelus kepala burung hantu elang itu dengan sayang. “Kali ini mungkin sedikit jauh, tapi kumohon sampaikan surat ini padanya, Fidele chere.” Gadis itu berbisik lembut di telinga burung hantunya, menggaruk sayapnya perlahan sebelum melepaskan burung hantu itu keluar jendela. Ia mendesah pelan. Lalu menyandarkan diri di pilar jendela sambil memperhatikan burung hantu elangnya perlahan-lahan menghilang di horizon yang mulai berubah jingga. Ia menutup matanya, mulai kembali melantunkan doa-doa yang selama bulan-bulan terakhir ini terus ia dendangkan. Doa-doa perlindungan dan doa-doa pengharapan.

“Belum pulang, Celia?” Sebuah suara mengejutkannya. Gadis itu menoleh, mengayunkan rambut merah ikalnya yang ia potong sebahu dan menemukan Paulette Larouche sedang memperhatikan dirinya. Librarian setengah baya itu nampak sudah berkemas. Ia sudah menanggalkan kacamata bacanya dan sudah memakai vest tua merahnya yang selalu ia pakai dalam musim apapun, baik itu musim semi atau musim dingin. Wanita tua itu tersenyum hangat, pandangannya nampak sangat maklum sekaligus bertanya-tanya. “Sudah jam 4.35, cherie.”

Celia tersenyum simpul dan hanya menganguk kecil. Perpustakaan Sihir Kementrian Perancis itu seharusnya sudah tutup dari jam 3 tadi. “Mengirim surat lagi?” tanya wanita itu dengan penekanan singkat di kata terakhir. Ada nada tak percaya dalam pertanyaannya. Pertanyaan yang membuat gadis itu hanya bisa kembali mengangguk.

“Kadang kalian mengingatkanku pada Jean-Luc,” ujarnya muram sambil memakai sarung tangannya yang juga berwarna merah. Hadiah Natal tahun lalu dari Celia. Jean-Luc Larouche, suami terkasih Paulette adalah seorang kolomnis yang dibunuh karena tulisannya yang luar biasa menentang Kau-Tahu-Siapa. Meninggalkan istrinya untuk hidup kesepian tanpa seorang anakpun. Tapi Paulette masih begitu beruntung. Banyak orang lain yang kehilangan lebih dari itu. Banyak. “Ah, Vanirmu belum membalas?” tanya wanita itu kembali sambil memperhatikan Celia yang mulai mengemasi barang-barang yang ada di mejanya. Celia menegadah sesaat, meletakkan kembali buku-buku yang baru yang belum dikatalogkan ke atas meja. Onyx hijaunya mengerjap hampa, ada ketakukan disana, jelas. “Belum,” balasnya singkat. Ah, andai ia bisa berharap untuk mengucapkan kata lainnya. Gadis itu mendesah, mengigit bibirnya kuat-kuat sebelum banjir kata-kata keluar dari bibirnya.


“Empat bulan yang lalu ia menulis bahwa ia berada di Bulgaria. Doing something, he said—ia tak pernah bercerita banyak soal pekerjaan Auror ini padaku.” Gadis itu berbicara sambil terus menunduk. Ia masih bisa mengingat setiap kata yang tertera di surat terakhir Vanir. Ia hanya berkata kalau ia baik-baik saja, semuanya lancar dan mengingatkan Celia untuk makan dan tidur yang cukup. Selalu saja begitu. Vanir mulai pergi saat perang ini belum dimulai. Bahkan sebelum Celia tahu bahwa Vanir tengah mengejar pelahap-pelahap maut itu. Vanir memang hanya perduli pada orang lain, ia terlalu kesatria hanya untuk perduli pada dirinya sendiri. Karena itulah ia mencintainya, sekaligus membuatnya kesal tak berkesudahan. “Mais… a-aku takut, Paulette. Aku takut dengan ketidaktahuanku. Aku mulai berhalusinasi kalau ia berada di suatu padang belantara sedang perang mantra. Aku takut ia kehilangan tongkatnya dan... dan...” Isak tangis gadis itu pecah. Membuyarkan sunyi yang melingkupi perpustakaan itu. Celia tak lagi menahan diri, ia terus menangis dan menangis. Menumpahkan semua ketakutan dan kegelisahan yang melandanya berbulan-bulan. Ketakutannya, pengharapannya yang tidak berbalas, semuanya.

Gadis ini bukannya berhenti berharap, monsieur. Ia akan terus berharap walaupun harapannya tampak begitu mustahil. Tapi, pada kenyataannya ia hanya seorang makhluk berperasaan yang tidak ingin merasa kehilangan. Apalagi kehilangan seseorang yang begitu penting bagi hidupnya. Katakanlah ia egois, katakanlah ia tidak realistis. Tapi perasaan ini begitu kuat dan membuatnya mampu untuk kembali menanti ketidakpastian.


Celia menangis dan kembali menangis sampai Madame Paulette Larouche datang dan memeluknya. Dua wanita itu akhirnya menangis bersama, disaksikan rak-rak dan buku-buku tua yang tak berbicara, ditemani kesunyian perpustakaan yang kaku, masing-masing dengan alasan yang berbeda-beda.


ooOoo


March


Ile de Re bagaikan sebuah mimpi yang tiba-tiba menjadi kenyataan. Pulau kecil ini bagai memiliki dunia sendiri yang memiliki orientasi waktu berbeda dengan dunia luar. Tak ada teror, tak ada takut, tak ada pembantaian seperti yang sekarang tengah menghantui masyakarat sihir di belahan dunia lain. Semua hal di pulai ini berjalan sama tenang dan sama membosankan seperti semula. Seperti yang seharusnya. Walaupun gadis ini mendapat cuti sampai batas waktu tak ditentukan yang dikarenakan kericuhan dunia sihir, tetap saja perang dunia sihir yang sedang berkecamuk di luar sana bagaikan mitos yang jarang terdengar lagi beritanya.

Cerita horror yang merusak kesenangan musim semi. Dimana matahari bersinar cerah dan hangat, terlalu hangat.

Namun malang bagi gadis itu karena ia tak pernah menyukai sinar matahari yang terlalu terik. Saat dimana orang-orang sibuk mengambil baju renang mereka dan menceburkan diri di danau—berenang-renang riang sambil tertawa-tawa, ia hanya merepet di balik bayangan hijau pohon Birch tua di tengah ladang bunganya sambil termenung. Permata onyxnya menerawang tidak fokus, tanda pikirannya sedang berkelana jauh di antara awan-awan dan ranting-ranting tua pohon Birch yang hampir patah. Sebuah buku Shakespeare—Romeo dan Juliet tertelungkup tidak dibaca di pangkuannya. Buku barangkali tidak terlalu tepat untuk menggambarkan benda itu. Ia tak lebih dari sekedar lembaran-lembaran babak kedua Romeo dan Juliet yang diklip dan berubah menjadi coklat kehitaman karena gadis itu baca berulang-ulang. Buku itu menunggu, menunggu agar gadis itu kembali membaca lembar demi lembar alunan kata mengenai cinta seorang laki-laki dengan anak gadis musuh ayahnya, menunggu agar si gadis tenggelam dalam prahara cinta keluarga Montague dan Capullet.

Akan tetapi bukan itu yang menyita pikirannya sekarang.

Celia memandangi matahari yang sedang bersembunyi di balik awan. Ia tidak perduli walau matanya memincing-mincing silau—ia hanya ingin melihatnya. Apakah benar benda itu berbentuk bulat seperti yang diceritakan Celine padanya. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Daun-daun pohon Birch tua itu rontok dan mengalun bersama angin, ranting-rantingnya berderik horor dan bunga-bunga liar yang tumbuh diantara rerumputan kehilangan mahkota bunganya. Angin yang kuat sekali, dan angin itu juga membuat sisiran rambut coklat kemerahan Celia berantakan. Celia menutupi rok biru yang sedang ia kenakan dengan tangannya—tak ingin terlihat memalukan apalagi ada Samuel Stern yang sedang memanen bunga di ujung lain ladang Orange Blossom keluarganya.

Dan, Demi Ujung Janggut Merlin. Akhirnya angin itu berhenti.

Celia menghela nafas lega. Peralihan musim dingin ke musim semu seperti sekarang ini memang banyak dihiasi hembusan-hembusan angin yang kuat. Gadis itu menyisir rambut-rambut merahnya perlahan-lahan, hanya untuk membuatnya sedikit terlihat lebih rapi saat ia menyadari telah kehilangan sesuatu.

Lembaran-lembarannya.

Gadis itu berdiri, berusaha menggapai kertas-kertas itu sebelum mereka menghilang di balik rumpun Orange Blossom yang sedang mekar. Tapi sebuah pemandangan di balik kertas-kertas yang beterbangan itu membuatnya beku dalam sekejap. Seketika Celia melupakan lembar demi lembar Romeo dan Julietnya.

Kulitnya jauh lebih gelap. Garis-garis wajahnya nampak lebih tegas. Bajunya lusuh, seperti habis melakukan sebuah perjalanan jauh dan panjang. Namun Celia mengenali bibir yang penuh guratan itu, juga Aquamarinenya yang lembut sekaligus kaku di saat yang bersamaan. Siluetnya terlihat nyata. Sejenak, ia merasa ia telah masuk ke dalam mimpi-mimpinya yang terdalam, terlalu dalam.

“I’m home.”

Onyxnya merefleksikan sebuah lautan biru yang selalu berhasil membuatnya tenang. Monsiur Aquamarine-nya?

He’s back, for sure.

Gadis itu tak sadar ketika ia berlari menyambut sosok itu. Ia tak sadar ketika ia menghempaskan diri dalam pelukannya. Menumpahkan air mata yang begitu lama terpendam di dadanya. Ia menyentuh jemari Vanir yang hangat, mengelus pipinya, mengecup singkat bibirnya dan tenggelam dalam birunya iris matanya. Ini Vanir. Vanirnya. Setelah sekian lama, ia bisa kembali melihatnya. Perasaannya membuncah. Membuatnya melupakan semua hal-hal teoritis mengenai martabat dan kodrat keperempuanannya, membuatnya tidak perduli dengan keberadaan entitas Samuel Stern di ujung lain ladang ini, melupakan kepedihannya, melupakan penantiannya dan menyongsong kebahagiaannya.

“Ssttttt. It’s okay. I’m here, cherie.” Vanir berkata lembut sambil memeluk Celia yang masih terisak pelan. Ia mencium puncak kepala gadis itu pelan, menenangkannya. Celia tidak bergeming. Ia merengkuh laki-laki itu kuat, meniadakan jarak yang membuatnya muak dan juga takut. Vanir balas memeluk gadisnya sama eratnya. Rindu bukan lagi kata yang tepat untuk mendefinisikan hal yang mereka berdua rasakan. Lebih ke perasaan lega, lega bahwa tidak akan ada lagi penderitaan di balik penantian berkepanjangan.

Tiba-tiba Vanir melepaskan pelukannya, membuat gadis itu sedikit bingung. Ia menggenggam tangan Celia lembut, menggunakan genggaman itu untuk menyeka air mata yang membasahi permukaan permata Onyxnya dan menyentuh bibir gadis itu pelan, sebelum menyapukan bibirnya disana. Lalu ia tertawa. Tawa khasnya yang selalu menular. Membuat Celia ikut tersenyum kecil. Hangat. Senyum yang langsung berubah ketika pemuda itu tiba-tiba berlutut di depannya. Onyx cemerlangnya menatap Vanir bingung.

“Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, sayang. Bila aku pulang dengan selamat aku akan melakukan ini.” Sebuah cengiran muncul di wajahnya, jelas untuk menyembunyikan kegugupan yang ia rasakan. Pemuda itu merogoh kantung mantel berpergiannya lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna hitam. Tangannya terlihat gemetar ketika pemuda itu membuka penutupnya—membiarkan cincin emas dengan sebuah batu Aqamarine biru terpapar di cahaya matahari. Waktu seakan berhenti ketika Vanir mengucapkan kalimat selanjutnya, “Celia Adrianne Champney. Before you, life has no meaning. I was a drifter in search of a home. Now I've found it and I can’t wait to spend the rest of my days with you. On this day I pledge to you my love and happiness. Will you marry me?”

Suaranya bergema bagaikan nyanyian puja puji yang digunakan untuk mengagungkan Tuhan. Membawa tangis kembali datang ke mata hijaunya tapi juga membawa kebahagiaan yang membuncah. Membuatnya percaya bahwa ia bisa melakukan apa saja saat iu juga. Melupakan lembar demi lembar cerita Romeo dan Julietnya yang melebur menjadi nyata. Gadis itu tesenyum di balik isak tangisnya. Ck. Mungkin ia terlalu banyak menangis hari ini. Lalu mengangguk. Anggukan khidmat yang penuh arti sambil mengulurkan tangan kirinya malu-malu.

“Thought you’d never ask.”


ooOoo



“Kalau kau dapat meminta apapun juga, apa yang akan kau pinta?” tanya si pemuda sambil mengulum senyumnya yang mempesona.

“Kau,” jawab si gadis tanpa berpikir.

Pemuda tertawa renyah—membuat dirinya bersinar seperti matahari. “Baik. Bila kau telah memiliki aku, apa lagi yang kau inginkan?”

Si gadis mendongak. Mata hijau si gadis menyelami iris Aquamarine si pemuda lama sekali sebelum menjawab pelan—pasti, “Aku tak ingin apapun lagi, selain kau.”


***



June


Alunan Wedding march tradisonal gubahan Wagner terdengar begitu khidmat. Mengiringi langkah hati-hati gadis itu. Maria Kooberg, calon adik iparnya mengawal jalannya sambil membawa sebuah buket bunga kecil. Celia memandangi papanya sesaat dan melemparkan senyum bahagia tulus yang tak lagi tersirat. Gaun sewarna salju musim dingin dan kelopak Catleya yang ia kenakan nampak berkilau ditimpa sinar matahari senja. Gaun itu membuka di bagian pundak dan bahu. Berbentuk A-line sehingga mengakali tubuh kecilnya dan membuat gadis itu tampak lebih tinggi. Rambut sutera merahnya digelung membentuk French Twist rumit dan dihiasi dengan cadar transparan putih yang dijepit pada sebuah bonnet mungil dengan untaian mutiara. Bibir peachnya dipolesi dengan warna pink lembut, sewarna dengan pewarna mata dan pewarna kukunya. Sedangkan lehernya dihiasi sebuah kalung emas putih tipis dengan sebuah safir berukir sebagai mata kalungnya. Kalung yang dulu juga pernah menghiasi leher mamanya.

Tidak, tidak—ia tetap tak bisa percaya ia berada disini sekarang. Bukan, bukannya gadis itu tidak senang. Ia tahu—semenjak pertama kali ia melihatnya di Leaky Cualdron—bahwa hari ini akan datang. Hari dimana ia akan memberikan seluruh jiwa dan raganya, seluruh hidupnya, seluruh perhatiannya pada pemuda itu. Pemuda pirang dengan senyum menawan dan mata yang menakjubkan. Namun, sebagai seorang pendamping hidup seseorang apa yang bisa ia lakukan? Bisakah ia mendampinginya dengan baik? Benarkah Celia cukup baik untuk dirinya? Bisakah mereka hidup bahagia? Sampai nenek-nenek dan kakek-kakak?

Setidaknya, mereka akan mencoba.

Bersama.

***


"Vanaheim Tajifa Asgardr, do you take Celia Adrianne Champney for your lawful wedded wife, to live with, to love, honour, comfort, and cherish her from this day forward, forsaking all others, keeping only into her for as long as you both shall live?"

Ia mengenggam tangan Celia kuat dan tersenyum puas, rupawan. “I do.”

“And you Celia Adrienne Champney, do you take Vanaheim Tajifa Asgardr for your lawful wedded husband, to live with, to love, honour, comfort, and cherish him from this day forward, forsaking all others, keeping only into him for as long as you both shall live?”

Ia membalas senyum Vanir.Yakin. “I do,”

"Ladies and gentlemen, I present to you the loving couple. Mr. and Mrs.Asgardr. You may kiss the bride,"

Dan mereka menyatu.

ooOoo




Ini Fanfic pertama saya dan saya nervous mau ngepost :p Fanfic ini dibuat berdasarkan kisah cinta monyet di roleplay Indohogwarts. Celia adalah chara milik saya, Vanir adalah chara milik Gabby dan dunia Harry Potter yang begitu luas adalah milik J.K. Rowling. Terima kasih atas semuanya :)


edit to add:
pict is mine.
don't get it? why don't you register here. gud lak!

Labels: ,

About
hi.
feel free to enjoy belladorra. feedbacks always welcome.
Archive
Where were you?
free counters
Follow me
Credits
Layout and header image by mymostloved with base image, brushes and background.

© 2009-2013
myfreecopyright.com registered & protected