Home Change Wujudkan Petarung follow |
This is just something I post in Indohogwarts where I have a character named Celia Adrienne Champney. This is the post in her thread where she played to fall in love in a guy named Vaneheim Tajifa Asgardr. Well, you should register there first before understand what I'm talking about. Hhe. Well, here you are. Enjoy :) Bila bisa dianomalikan, kehidupan Celia hanyalah seperti setangkai bunga matahari yang ditanam menjelang musim dingin. Ditanam jauh sesudah bunga matahari terakhir layu di musim panas. Dengan tertatih, bunga itu bertahan hidup—walau sendirian dan kesepian. Mematikan sel-sel hormon auksin di suatu sisi tangkainya hanya demi dapat mengejar Sang Matahari. Ya... mengejar matahari. Tak perduli cuaca dingin membeku, tak perduli ia hanya sebatang kara. Ia tetap mendongak menatap matahari yang pada saatnya tiba akan berisitirahat di peraduannya—meninggalkan bunga itu sendirian lagi. The same way at the same time Semburat merah segar terlihat mengintip di kedua pipinya yang cekung—kembali dihasi ronanya yang dulu, yang telah menghilang entah berapa lama. Uap keperakan berhambur di depan wajahnya, menandakan salju akan kembali berkunjung. Entah harus berapa milyar kali ia mendoktrinkan diri bahwa ia benci salju dan dingin membeku yang dibawanya, namun nasib selalu membawanya kembali. Ah, ia harusnya tahu ada banyak hal yang tak bisa dihindari, tak bisa dipungkiri, tak membiarkannya untuk lari dan bersembunyi. Jemarinya yang kurus bertumpu pada tangan-tangan pucat Monsieur Aquamarine yang terasa dingin. Dingin yang mengingatkannya pada sentuhan salju di kulitnya. Dengan perlahan, ia membawa jemari dingin itu didepan wajahnya. Meniupnya lembut, menyalurkan sedikit hangat yang ia miliki pada pemuda itu dan dengan keberanian terakhir yang ia miliki, ia mendongak. Menatap langsung lautan aquamarine yang balik menatapnya teduh. Tak ada yang tahu betapa ia menyukai refleksi dirinya yang dipantulkan cermin itu… …dan gadis itu meleleh. Ia menutup kelopak matanya ketika kejadian demi kejadian berputar cepat di sekelilingnya. Ketika bibir penuh guratan itu berpanggut pada bibirnya yang pucat. Ketika genggaman pada Kamelianya terlepas tanpa ia sadari. Ketika jantungnya berdegup cepat seperti hendak berlari. Ia menutup matanya karena ia yakin semua keindahan itu tidak terlihat. Seperti mimpi yang hanya datang saat ia terlelap atau bayang-bayang yang menyapa ketika ia menutup mata atau kelegaan yang menyergap ketika ia mengeluarkan air mata. Akan tetapi, bahkan ketika gadis ini menutup mata, pemuda ini tetap berada di balik kelopak matanya. Hadir disana untuk menebar senyum, memeluk dan mengecupnya, menghangatkan bagian terdingin di sudut hatinya. Begitu… kuat. Dan akan menjadi seberapa kuat lagi perasaan ini akan mempengaruhinya, kalau boleh ia bertanya, Tuhan? Kemarin gadis ini sendirian. Berjuang dalam kebodohan dan ketidakpeduliannya. Menjadi anonim dalam keramaian. Ia dahulu merupakan gumaman kosong tak bersuara, tak dikenal, tanpa kata. Sekarang, kecupan kecil tak lebih dari semenit itu membuatnya menjelma menjadi nyanyian indah yang bertalu-talu di setiap pintu. Membuatnya merekah. Menjadikannya ada dari ketiadaan. I’ve already love him too much Mon nom. Que mon nom. Perlahan gadis itu membuka kelopak matanya, melirik kembali ke samudera dalam yang menatapnya tanpa malu-malu. Ia tak ingin kesakralan momentum ini diganggu oleh kata-kata yang kurang bermakna. Pemuda ini pantas mendapatkan lebih dari sekedar kata-kata. Oui, cherie. Sebuah senyuman kecil kembali terukir di bibirnya, sementara jemarinya naik dan menyentuh bibir bergurat miliknya kembali. Bibir yang sama yang telah menyentuhnya dengan lembut. “Sshh…,” bisiknya sambil meletakkan kepala di dada pemuda itu. Mendengarkan detak jantungnya yang tidak teratur. Celia sudah lama mendengar rumor mengenai hal ini, dan sekarang ia hanya bisa berdoa agar benda yang berdenyut di dalam sana terus bekerja. Gadis itu mendesah risau dan kembali menutup kelopak matanya, menyatu kepada detak-detak lembut yang bernyanyi padanya dan bibirnya mengecup dada kiri pemuda itu. Dimana jantungnya masih berdegub, kemudian mendongak dan tersenyum. Ia menggapai jemari pemuda itu dan menampilkan gesture ajakan yang khas. “Come,” ujar Celia pelan. Ia tersenyum. Ah, sudah berapa lama ia dari terakhir kali ia terus menerus tersenyum seperti ini. “I’ll show you something…” |
About
hi.feel free to enjoy belladorra. feedbacks always welcome. Archive
Affiliates
|